13 February 2009

Arti Ulang Tahun

Ulang tahun = peringatan hari kelahiran yang ditandai dengan suka cita. Biasanya dirayakan dengan berbagai cara sambil mengundang keluarga, teman, relasi dll. tp sayang tidak setiap orang memperingati hari ulang tahunnya dengan perayaan. Ada yang tidak merayakannya secara terang-terangan, terlebih mereka yang kemampuan ekonominya pas-pasan kadang malah tidak merayakannya sama sekali.

Banyak orang merayakan hari ulang tahunnya dengan pesta-pesta besar dan meriah. Apalagi di usia tertentu seperti 17 tahun, 25 tahun, 50 tahun, 60 tahun dan sebagainya. Tak jarang bagi orang berduit, hanya untuk merayakan pesta ulang tahun saja biaya yang dikeluarkan mencapai ratusan juta rupiah.

Hari ulang tahun tak hanya diperingati oleh orang. Lembaga, organisasi, institusi bahkan negara pun memperingati hari ulang tahunnya dengan berbagai macam perayaan yang meriah. Misalnya upacara resmi, lomba, pentas seni, bakti sosial dan sebagainya. Hal ini kemudian menjadi suatu tradisi tahunan yang rutin dilaksanakan dengan berbagai keunikan yang menyertainya.

Di jaman sekarang ini, perayaan ulang tahun sudah menjadi bagian dan gaya hidup yang tidak terpisahkan bagi masyarakat. Anggapan bahwa peringatan hari kelahiran merupakan sesuatu yang istimewa yang hanya datang sekali dalam setahun itu sudah berlaku secara umum di seluruh dunia. Untuk itulah orang merasa perlu memperingatinya.

Akan tetapi, motif orang dalam merayakan hari ulang tahunnya berbeda-beda. Ada yang sekedar ikut-ikutan tetangga, ada yang ingin dianggap modern dan tidak dikatakan kuno, ada pula yang ingin berbagi rezeki dengan membagikan makanan dalam bentuk pesta, bahkan ada yang cuma ingin mendapat kado dari tamu yang diundangnya. Semua itu diwujudkan dalam bentuk pesta perayaan.

Satu hal yg mungkin tidak kita sadari, bahwa tahun baru bukan berarti membuat kita menjadi bertambah muda, namun justru menunjukkan usia kita menjadi semakin tua. Selain itu jatah kontrak kehidupan di dunia ini pun menjadi berkurang. Kita terhanyut dalam gemerlapnya pesta dan perayaan tanpa berpikir mengenai hal itu.

Ada yang beranggapan bahwa usia boleh tua, namun semangat tetap muda. Tetapi setiap manusia tidak akan pernah mampu menghalangi datangnya ketuaan. Tua tetaplah tua, semakin tua fisik, akan berkurang kemampuannya. Ketahanan tubuh pun mungkin akan menurun secara perlahan namun pasti. Tubuh tidak mampu mempertahankan keremajaannya, seluruh fungsi organ tubuh akan menurun disadari atau tidak disadari. Itulah proses kehidupan yang mesti kita alami.

Tahun baru ataupun ulang tahun sebenarnya merupakan pengingat bagi kita. Waktu akan terus berjalan dan hari akan terus berganti. Masa lalu tak akan pernah kembali atau terulang lagi dalam hidup kita. Sebab setiap manusia memiliki masa tersendiri dalam hidupnya. Masa kecil, masa bermain, masa sekolah, masa pacaran, masa remaja, masa berkeluarga, masa muda, masa tua, masa berkarya dan masih banyak lagi lainnya.
Dalam ajaran agama kita juga dianjurkan untuk berbuat baik terhadap sesama dan lingkungan kita masing-masing. Setiap orang tak ingin dirinya dinilai buruk oleh orang lain. Tahun baru, tak ada salahnya kita jadikan tonggak untuk lebih meningkatkan kualitas diri kita di hadapan manusia dan juga di hadapan ALLAH SWT.

Ulang tahun dan tahun baru, tetap akan berulang secara rutin dan teratur dalam kehidupan yang kita jalani. Kedua momen tersebut sudah menjadi bagian dari hidup kita sejak kita dilahirkan dan sejak kalender pertama diperkenalkan untuk menandai perhitungan waktu.

Tak ada yang aneh, tak ada yang perlu dipertanyakan. Kita hanya berharap menjadi lebih baik lagi di berbagai sisi kehidupan. Saya yakin, siapapun tak ada yang mengharapkan hidupnya menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

(Sumber : berlianmanda.blog.friendster.com)

09 February 2009

Benarkah Film ''Perempuan Berkalung Surban'' Menyesatkan


Mereka yang terlibat dalam film itu sangat terlihat sekali ketidakpahaman mereka terhadap sejarah, tradisi, karakteristik dan jiwa pesantren., Film ''Perempuan Berkalung Surban'' telah menyesatkan.Mereka menggambarkan persepsi yang salah, padahal keadaan yang sebenarnya tidak seperti itu

Film ''Perempuan Berkalung Sorban'' besutan Sutradara Hanung Bramantyo yang sedang diputar di bioskop dinilai banyak mengandung muatan agama yang menyesatkan. Film yang diadopsi dari novel karya Abidah Al Khalieqy itu juga dianggap telah melecehkan Alquran dan Hadits, serta telah menjelek-jelekan pesantren.

Salah satu pesan yang dianggap menyesatkan dalam film itu adalah dialog antara Kiai Hanan, ayah Anissa (Joshua Pandelaky) dengan Annisa (Revalina S Temat). Dalam dialog itu, Kiai Hanan berkata, "Jelas Alquran dan Hadits mengharamkan perempuan keluar rumah sendiri tanpa muhrim, meski untuk belajar."

''Yang membuat saya kaget, dialog itu dihadirkan secara berulang dengan adegan yang berbeda,'' cetus staf pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fitriyani Aminudin kepada Republika, Ahad (1/2). Padahal, kata Fitriyani, tak ada satupun ayat dalam Alquran dan Hadits yang melarang perempuan untuk keluar rumah.

Ia menegaskan, penggunaan kata ''berdasarkan Alquran dan Hadits'' dalam film itu sebagai bentuk pelecehan kitab suci yang amat menyakitkan. Reaksi keras terhadap Film ''Perempuan Berkalung Sorban'' juga dilontarkan Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Ali Mustafa Yakub. Pakar ilmu Hadits itu menyatakan, tak ada satu pun ayat dalam Alquran dan Hadits yang mengharamkan perempuan untuk keluar rumah.

"Yang ada justru hadits yang sebaliknya,'' tegas Kiai Ali Mustafa. ''Janganlah kamu melarang perempuan-perempuanmu untuk ke masjid (menimba ilmu),'' ucapnya mengutip sebuah hadits. Anggota Komisi Fatwa MUI itu menilai, Film ''Perempuan Berkalung Surban'' telah menyesatkan. "Mereka menggambarkan persepsi yang salah, padahal keadaan yang sebenarnya tidak seperti itu. Itu sangat tidak benar. Menurut saya film itu menyesatkan."

Kiai Ali juga menyoroti adegan Anissa menunggang kuda. ''Dalam film itu digambarkan bahwa perempuan dilarang menunggang kuda. Padahal pada zaman Nabi banyak perempuan yang sudah menunggang kuda,'' tuturnya. Menurut dia, film tersebut telah menyampaikan ajaran agama yang salah. ''Sebaiknya tidak usah ditonton."

Selain itu, Fitriyani juga memaparkan banyaknya adegan yang ganjil dalam film itu. Ia mengkritisi sejumlah dialog dan gambar yang mencoba membandingkan Alquran serta Hadits dengan buku Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Tur. "Siapapun yang menontonnya, dalam film ini terdapat kesan kuat yang menggambarkan kebodohan kaum santri mengharamkan buku-buku Komunis,'' cetus Fitriyani.

Fitriyani menilai film itu mengedepankan pesan utama kebebasan yang mencoba membandingkannya dengan pesantren. "Ada sebuah kesalahan fatal, karena mereka (pembuat film) tak mendalami lebih dahulu karakter dan tradisi pendidikan pesantren,'' tegasnya. Ia menilai mereka yang terlibat dalam film itu sangat terlihat sekali ketidakpahaman mereka terhadap sejarah, tradisi, karakteristik dan jiwa pesantren.

''Ini merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap pesantren," kata wanita yang juga pernah mondok di salah satu pesantren Jawa Timur itu. Menanggapi reaksi keras dari kalangan umat Islam itu, Sutradara Film ''Perempuan Berkalung Sorban'', Hanung Bramantyo membantah adanya dialog haramnya perempuan keluar rumah yang didasarkan pada Alquran dan Hadits. "Tak ada dialog seperti itu, itu hanya pendapat sang Kiai yang notabene pemilik pesantren bukan berdasarkan Alquran dan Hadits,'' kilahnya.

Hanung menambahkan, ia mengadopsi keadaan pesantren dan kegiatannya dari novel karya Abidah Al Khalieqy yang merupakan hasil pengamatan Abidah.

(sumber :www.republika.co.id)

05 February 2009

Tirani dan Anarki

Ketika penguasa bertindak sewenang-wenang, akan lahir tirani. Dan ketika aksi rakyat menjadi liar dan brutal tak terkendali, muncullah anarki. Dua kejadian di tempat berbeda memunculkan fenomena yang sama; kekerasan.
Demo ribuan pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli berakhir rusuh. Pendemo mengubrak-abrik isi ruang rapat paripurna. Tak hanay itu, ketua DPRD sumatera utara Abdul Aziz Angkat menjadi korban pemukulan dan akhirnya meninggal dunia karena penyakit jantung.
Di Pakenjang Kabupaten Garut, seorang oknum anggota polisi stempat memeregakan laku seorang tirani. Dengan kekuasaan, pangkat dan jabatannya, ia menggebrak Ucu, sopir truk. Gara-garanya, truk Ucu yang meuntahkan muatan pasir dianggap menghalangi jalan. Tak hanya itu, kabarnya oknum petugas itu sempat mengeluakan pistol. Tindakan itu rupanya membuat kaget jantung Ucu sehingga tak kuat lagi berdetak. Ucu pingsan dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan ke puskesmas.
Jika aparat mengagung-agungkan jabatan, pangkat dan kekuasannya, maka tindakannya tidak akan pernah berbuah pelayanan yang ikhlas kepada rakyat. Gerak pengabdiannya bukan lagi untuk kemaslahatan umat. Tapi semata demi memuaskan syahwat kuasa.
Aparat semacam itu lebih dari Louis XIV yang berseru, “L’Etat c’est moi”, negara adalah saya. Dengan segenap kekuasaan ditangannya, kekerasan demi kekerasan adalah kebenaran.
Dan rakyat yang mengatasnamakan demokrasi, kebebasan untuk bersuara, namun berlaku anarkis dan tak mengindahkan nilai-nilai demokrasi, sesungguhnya adalah tiran berjubah humanis.
Kekuasaan bukanlah untuk menakut-nakuti wong cilik dan demokrasi bukanlah alat untuk menghakimi. Kita akan merasa ngeri apabila aparat dan massa pamer keuatan tanpa rasio.
Apa jadinya negeri ini bila aparat dan rakyat bermental seperti despot? Hanya kekerasan demi kekerasan yang akan menular ke tengah masyarakat dan menghancurkan perjalanan bangsa ini.
Tidak ada pembenaran atas nama apapun terhadap tindakan para pelaku. Demonstrasi adalah keniscayaan demokrasi, tapi tentu tak perlu dengan jalan anarki. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menemukan solusi sebuah persoalan.
Sungguh suatu pelajaran yang sangat berharga dari kejadian di Medan dan Garut ini. Berlaku santun dalam tugas, tidak akan membuat harga diri jatuh.
Justru disitulah nilai seorang berada. Ketika mempunyai kuasa dan mampu untuk memperbudak seseorang, ia tidak melakukannya. Begitu juga, ketika seseorang mampu membuat kerusakan, tapi ia bisa meredamnya, itulah nilai tertinggi yang diperoleh. Seperti halnya yang diteladankan oleh Ali bin Ali Thalib, tatkala musuh yang tak berdaya meludahi wajahnya, dia tak jadi membunuh musuh itu. Ali berperang bukan karena nafsu diludahi, tapi semata karena Allah SWT. Itulah nilai kemuliaan sejati.

(Sumber : TribunJabar)